HADITS TENTANG POLIGAMI
A.
Hadits Utama
1071 - و حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ ابْنِ
شِهَابٍ أَنَّهُ قَالَ بَلَغَنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِرَجُلٍ
مِنْ ثَقِيفٍ أَسْلَمَ وَعِنْدَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ حِينَ أَسْلَمَ الثَّقَفِيُّ أَمْسِكْ
مِنْهُنَّ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ
Artinya: Rasulullah Saw mengatakan pada seorang laki-laki dari Bani
Tsaqafi yang ketika masuk islam mempunyai sepuluh orang istri “pertahankanlah
empat orang dari mereka dan ceraikanlah yang lainnya: (HR Imam Malik)[1]
B.
Mufradat
لرجل :
Kepada seorang laki-laki
ثقيف : Nama sebuah suku atau kabilah
عشر نسوة : Sepuluh Orang[2]
امسك : Pegangilah,
pertahankanlah[3]
وفارق : Tinggalkanlah,
berpisahlah, ceraikanlah
C.
Hadits Pendukung
Beberapa hadist yang kami tulis di bawah ini adalah
merupakan hadist pendukung yang berfungsi untuk menguatkan dan menjelaskan dan
mendukung hadist utama. Adapun hadist-hadist tersebut adalah:
1.riwayat Imam Bukhari
260
- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ
قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ قَتَادَةَ قَالَ
حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَدُورُ عَلَى نِسَائِهِ فِي السَّاعَةِ الْوَاحِدَةِ مِنْ اللَّيْلِ
وَالنَّهَارِ وَهُنَّ إِحْدَى عَشْرَةَ قَالَ قُلْتُ لِأَنَسٍ أَوَكَانَ يُطِيقُهُ
قَالَ كُنَّا نَتَحَدَّثُ أَنَّهُ أُعْطِيَ قُوَّةَ ثَلَاثِينَ
وَقَالَ سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ إِنَّ
أَنَسًا حَدَّثَهُمْ تِسْعُ نِسْوَةٍ
2. riwayat Imam muslim
2656 - حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ
حَدَّثَنَا شَبَابَةُ بْنُ سَوَّارٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ
عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ
كَانَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
تِسْعُ نِسْوَةٍ فَكَانَ إِذَا قَسَمَ بَيْنَهُنَّ لَا يَنْتَهِي إِلَى
الْمَرْأَةِ الْأُولَى إِلَّا فِي تِسْعٍ فَكُنَّ يَجْتَمِعْنَ كُلَّ لَيْلَةٍ فِي
بَيْتِ الَّتِي يَأْتِيهَا فَكَانَ فِي بَيْتِ عَائِشَةَ فَجَاءَتْ زَيْنَبُ
فَمَدَّ يَدَهُ إِلَيْهَا فَقَالَتْ هَذِهِ زَيْنَبُ فَكَفَّ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ فَتَقَاوَلَتَا حَتَّى اسْتَخَبَتَا
وَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَمَرَّ أَبُو بَكْرٍ عَلَى ذَلِكَ فَسَمِعَ
أَصْوَاتَهُمَا فَقَالَ اخْرُجْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِلَى الصَّلَاةِ وَاحْثُ فِي
أَفْوَاهِهِنَّ التُّرَابَ فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَتْ عَائِشَةُ الْآنَ يَقْضِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَلَاتَهُ فَيَجِيءُ أَبُو بَكْرٍ فَيَفْعَلُ بِي وَيَفْعَلُ فَلَمَّا قَضَى
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ أَتَاهَا أَبُو بَكْرٍ
فَقَالَ لَهَا قَوْلًا شَدِيدًا وَقَالَ أَتَصْنَعِينَ هَذَا.
3. riwayat Abu Daud
4528 - حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ ابْنِ أَبِي حُسَيْنٍ سَمِعَهُ مِنْ
شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ يَقُولُ أَخْبَرَتْهُ أَسْمَاءُ ابْنَةُ يَزِيدَ
مَرَّ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي نِسْوَةٍ فَسَلَّمَ عَلَيْنَا.
4. riwayat Imam Ahmad
26108 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ
قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ عَنْ
أُمِّهِ سَلْمَى بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ
بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نِسْوَةٍ مِنْ الْأَنْصَارِ قَالَتْ كَانَ فِيمَا
أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ لَا تَغُشَّنَّ أَزْوَاجَكُنَّ قَالَتْ فَلَمَّا انْصَرَفْنَا
قُلْنَا وَاللَّهِ لَوْ سَأَلْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَا غِشُّ أَزْوَاجِنَا قَالَتْ فَرَجَعْنَا فَسَأَلْنَاهُ قَالَ أَنْ
تُحَابِينَ أَوْ تُهَادِينَ بِمَالِهِ غَيْرَهُ.
5. riwayat
ibn majah
2028
- حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدَّوْرَقِىُّ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنِ
ابْنِ أَبِى لَيْلَى عَنْ حُمَيْضَةَ بِنْتِ الشَّمَرْدَلِ عَنْ قَيْسِ بْنِ
الْحَارِثِ قَالَ أَسْلَمْتُ وَعِنْدِى ثَمَانِ نِسْوَةٍ فَأَتَيْتُ النَّبِىَّ
-صلى الله عليه وسلم- فَقُلْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ « اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا
».
6. riwayat imam an-nasa'i
3196 - أَخْبَرَنَا أَبُو دَاوُدَ سُلَيْمَانُ
بْنُ سَيْفٍ قَالَ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ عَوْنٍ قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ
جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ قَالَ
حَضَرْنَا
مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ جَنَازَةَ مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَرِفَ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ هَذِهِ مَيْمُونَةُ إِذَا
رَفَعْتُمْ جَنَازَتَهَا فَلَا تُزَعْزِعُوهَا وَلَا تُزَلْزِلُوهَا فَإِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ مَعَهُ تِسْعُ نِسْوَةٍ
فَكَانَ يَقْسِمُ لِثَمَانٍ وَوَاحِدَةٌ لَمْ يَكُنْ يَقْسِمُ لَهَا
7. riwayat abu daud
2135
- حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ الطَّيَالِسِىُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا
قَتَادَةُ عَنِ النَّضْرِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ بَشِيرِ بْنِ نَهِيكٍ عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ كَانَتْ لَهُ
امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ
مَائِلٌ ».
D.
Takhrij Hadits
Takhrij hadist merupakan langkah atau cara yang siperlukan untuk
menggetahui drajat suatu hadist. Oleh karena itu untuk mengetahui drajat hadist
utma tentang poligami, maka dilakukan suatu takhrij. Salah satunya dengan
mengrtahui biografi para perawi hadist ini.
Berikut ini biografi singkat perawi hadith utama:
1. Yahya
a. Riwayat : Nama
lengkapnya Yahya bin Adam bin Sulaiman Al-Qursyi al-Amwa, Abu Zakaria al-Kufi,
Mawla khalid bin Khalid bin uqubah bin Abi mui’th. Dari segi tabaqatnya, ia
termasuk sigharu at-tabiin dan wafat 203 H.
b. Guru :
yahya bin zakariya bin abi zaidah, Abi Muawiyah Ad-dhariiro, Qutbah bin Abdul
Aziz.
c. murid :
Ishaq bin Ibrahim bin nashri Al-bukhari, Yahya Bin Mu’in, Abdah bin Abullah
As-shafar.
d. kredibilitas :
Dalam kapasitasnya sebagai rawi hadith, al-hafidh dalam tahdib al-kamal ibn
hajar menyebutnya dengan siqah dan hafidzh fadhil(penghapal utama) dan
Az-zahabi menyebutnya Ahadul A’lam.[4]
2. Malik
a. Riwayat : Nama
lengkapnya Malik At-thai Al-kufi ( Walid khasfi bin Malik). Dari segi
tabaqatnya, ia termasuk Kibar al-Tabi’in. Tahun wafatnya belum dicantumkan.
b. Gurunya :
Abdullah bin Mas’ud.
c. Muridnya : Khasaf
bin Malik (anaknya)
d. kredibilatasnya : Ibn hajar
menilai belum disebutkan (lam yujkaroha) dan Az-zahabi menyebutnya (la
yu’rof) belum diketahui.[5]
3. Ibn Shihab
a. Riwayat : Nama
lengkapnya Ahmar bin Juz’I, dan pendapat lain Ahmar bin Suwai bin Juz’I, juga
pendapat lain Ahmar bin Shihab bin Juz’I bin Sa’labah bin Zaid bin Malik bin
Sunan As-sudusi Ar-rob’i’. beliau termasuk tabaqat As-shohabi. Tahun wafatnya
belum dicantumkan.
b. Gurunya : Beliau
langsung berguru kepada Rasulullah seperti yang disebutkan oleh Al-maji dalam
kitab Tahdzibu Al-Kamal
c. Muridnya : Hasan
al-Bashri
d. kredibilitasnya : shohabi [6]
F.
I’tibar Hadist
Dilihat dari data di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa drajat hadits utama di atas adalah hadits mursal. Hal ini dikarenakan
sanad tersebut putus di tingkat sahabat. Pendapat ini sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid.
Walaupun pada dasarnya hadits ini adalah dhaif
dikarenakan sanadnya terputus, namun kemudian karena didukung hadits lain baik
berupa muttabi’ maupun Syahid, maka hadits ini menjadi hasan
lighairih. Oleh karena itu kebanyakan ulama membolehkan untuk memakai
hadits tersebut. Berikut biografi singkat perawi hadits utama.
E. Makna Ijmali
Secara garis besar, hadits riwayat Malik diatas
menceritakan tentang seorang laik-laki dari Bani Tsaqif yang pada waktu itu dia
masuk islam dan dia mempunyai sepuluh istri. Kemudian Rasulullah menyuruhnya
untuk memilih empat orang istri dan menyuruh menceraikan lainnya. Perintah
tersebut adalah sebagai bentuk atau aturan dalam perkawinan islam, bahwa
kebolehan poligami bagi setiap laki-laki dibatasi dengan tidak diperbolehkan
mempunyai lebih dari empat istri.
F. Makna tafshili
Makna رجل yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah seorang
laki-laki yang bernama Ghailan bin Salamah, nama ini secara jelas disebutkan
dalam sunan ibnu Majah, Imam Ahmad dan yang lainnya, yang mana hadits yang
mereka riwayatkan adalah semakna walaupun dalam matannya ada perbadaan lafazd.
من ثقيفmerupakan
nama dari keturunan bani tsaqafi, karena dalam hadits lain disebutkan dengan
nama Ghailan bin Salamah As-Tsaqafi,kata ثقيفى merupakan
sebuah gelar yang diambil dari nama keturunan.
امسك منهنpertahankanlah
empat dari mereka, matan hadits ini diawali dengan lafadz امسك yang merupakan
kata perintah dari kata امسك yang berarti
memegang atau lebih cocok dengan pegertian mempertahankan. Sedangkan subjeknya
adalah kata رجل.
اربعاberkedudukan
sebagai objek (maf’ul bih) dari kata perintah sebelumnya. Bilangan empat disini
mentakdirkan kata niswatin yang kemudian diartikan dengan dari istri
yang dimiliki. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa orang yang melakukan
bentuk perkawinan poligami istrinya tidak boleh lebih dari empat.
وفارقdan
tinggalkanlah yang lainnya, kata فارق dalam hadits
diatas merupakan kata perintah dari kata فارق Yang berarti berpisah,
sedangkan subjeknya kembali pada kata رجل
سائرهنmerupakan
objek (maf’ul bih) dari kata kerja sebelumnya. Dalam hadits diatas Ghailan bin
Salamah yang ketika sebelum masuk islam mempunayi sepuluh istri, diperintahkan
untuk mempertahankan empat dan menceraikan yang lainnya oleh nabi ketika di
memutuskan untuk masuk islam bukan berarti mengindikasikan adanya perintah
untuk melakukan poligami ataupun memusnahkannya, tetapi dalam hadits ini
memberikan pengertian bahwa sumua umat nabi Muhammad SAW untuk meminimalisir
perkawinan dengan bentuk poligami.
G.
Kandungan Hukum
Dalam hadist
yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Perintah nabi Muhammad SAW terhadap
Ghailan bin Salamah untuk menceraikan beberapa istrinya dan disuruh untuk
memperthankan empat dari istrinya adalah sebagai bentuk upaya untuk menyebarkan
syariat Islam. Adanya perintah ini tidak terlepas dari adanya perintah dalam
Al-qur’an yang menyuruh kepada semua umat nabi untuk tidak berpoligami dengan
beristri lebih dari empat.
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz
wr& (#qäÜÅ¡ø)è?
Îû 4uK»tGuø9$#
(#qßsÅ3R$$sù $tB
z>$sÛ Nä3s9
z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$#
4Óo_÷WtB y]»n=èOur
yì»t/âur (
÷bÎ*sù óOçFøÿÅz
wr& (#qä9Ï÷ès?
¸oyÏnºuqsù ÷rr&
$tB ôMs3n=tB
öNä3ãY»yJ÷r& 4
y7Ï9ºs #oT÷r&
wr& (#qä9qãès?
ÇÌÈ
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil terhadap
(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita
lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu
miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S
An-nisa:3)
Dari hadist utama dan nash al-qur’an di atas, jelas
bahwa dalam Islam poligami adalah sebuah bentuk perkawinan yang diperbolehkan,
namun dengan syarat tidak boleh melebihi empat istri. Selain hadist di atas
atas terdapat pula hadist yang mengindikasikan terhadap kebolehan berpoligami
sebagaimana hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi yang berbunyi :
و
اخبرنا ابو عبدالله الحافظ وابو سعيد بن ابي عمر قال ثنا ابو العباس محمد بن يعقوب
ثنا ابراهيم بن مرزوق ثنا ابو عامر عن اسرائيل عن سماك عن عكرمه عن ابن عباس
رضيالله عنهما : والمحصنات من النساء الا ما ملكت ايمانكم كتاب الله عليكم قال لا
يحل للمسلم ان يتزوج فوق اربع فان فعل فهى عليه مثل
امه و اخته.
Artinya : tidak dihalalkan bagi orang islam menikah melebihi empat
orang istri, jika hal itu dilakukan, maka selebihnya disamakan dengan menikahi
ibu atau saudaranya (haram). H.R Baihaqi[7]
Sejumlah riwayat menjelaskan bahwa setelah turunya Q.S
An-Nisa : 3 yang menjelaskan tentang dibatasinya seorang laki-laki untuk
menikahi wanita dengan jumlah paling banyak empat orang. Nabi memerintahkan
para sahabat yang memiliki lebih dari empat istri untuk tetap mempertahankan
empat istrinya dan menceraikan yang lainnya. Seperti yang terdapat dalam hadist
utama di atas dimana nabi memerintahkan kepada seorang dari Bani Tsaqafi yang
baru masuk Islam sedangkan dia mempunyai sepuluh istri untuk menceraikan
istri-istrinya sehingga hanya mempunyai empat orang istri saja.
Selain itu dari keterangan hadits lain yang
diriwayatkan oleh Naufal ibnu Muawiyah, ia berkata : ketika aku masuk islam,
aku memliki lima orang istri. Rasulullah berkata : “ceraikanlah yang satu dan
pertahankan yang empat. Dalam riwayat lain disebutkan :
حدثنا احمد بن ابراهيم الدوراقيّ حدثا
هشيم عن ابن ابي ليلي عن حميضة بنت الشمردل عن قيس بن الحارث قال اسلمت و عندي
ثمان نسوة فأتيت نبي صلي الله عليه و سلم فقلت : ذالك له : فقال "اجتر منهن
اربعا"
Artinya : Qais ibnu Harits berkata :”ketika masuk islam aku mempunyai
delapan istri. Aku menyampaikan hal itu kepada Rasul dan beliau berkata :”pilih
dari mereka empat orang. (H.R Ibnu majah)[8]
Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa Islam
tidak pernah untuk mengajarkan poligami atau asas dari perkawinan Islam adalah
monogami (seorang laki-laki mempunyai satu istri). Selain itu dapat difahami
pula bahwa Islam tidak memandang positif apalagi mewajibkan poligami. Islam
hanya memperbolehkan poligami dengan bentuk yang ketat, yaitu harus berlaku
adil, hal ini berdasarkan :
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil terhadap
(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita
lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu
miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S
An-nisa:3)
Barlaku adil di sini adalah perlakuan yang adil dalam
pemenuhan istri seperti pakaian, tempat tinggal, giliran dan lain-lain yang
bersifat lahiriyah. Jika suami khawatir berbuat zalim atau dan tidak mampu
untuk memenuhi semua hak mereka, maka hendaknya untuk tidak berpoligami. Bila
ia hanya sanggup untuk berbuat adil dan juga memenuhi hak-hak istrinya hanya
tiga, maka janganlah menambah istri menjadi empat, bila ia hanya sanggup untuk
berbuat adil dan juga memenuhi hak-hak istrinya hanya dua orang, maka janganlah
menambah istri menjadi tiga dan begitu sampai seterusnya.
Apabila seorang suami yang melakukan poligami
sedangkan dia tidak dapat berlaku adil kepada para istrinya, Allah mengancamnya
melalui hadits yang berbunyi:
حَدَّثَنَا
أَبُو الْوَلِيدِ الطَّيَالِسِىُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنِ
النَّضْرِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ بَشِيرِ بْنِ نَهِيكٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ
النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ
إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
Dari Abu Hurairah ra,
sesungguhnya nabi SAW bersabda :”barang siapa yang mempunyai dua orang istri
lalu meberitakan kepada salah satunya, maka ia akan dating pada hari kiamat
dengan bahunya yang miring. (H.R Abu Daud)
Keadilan yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah
sesuatu yang bersifat materi, seperti pemberian pakaian, nafkah, dan sampai
juga paa persoalan hubungan seksual. Rasulullah sendiri ketika mempunyai
sembilan istri dalam melakukan hubungan seksual
menggilir semua istrinya kecuali satu dari mereka. Penggiliran ini
sebagai bentuk keadilan yang diterapkan oleh nabi pada istri-istrinya, hal ini
sesuai hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i:
أَخْبَرَنَا أَبُو دَاوُدَ سُلَيْمَانُ بْنُ
سَيْفٍ قَالَ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ عَوْنٍ قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ
عَنْ عَطَاءٍ قَالَ
حَضَرْنَا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ جَنَازَةَ
مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَرِفَ
فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ هَذِهِ مَيْمُونَةُ إِذَا رَفَعْتُمْ جَنَازَتَهَا فَلَا
تُزَعْزِعُوهَا وَلَا تُزَلْزِلُوهَا فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ مَعَهُ تِسْعُ نِسْوَةٍ فَكَانَ يَقْسِمُ لِثَمَانٍ
وَوَاحِدَةٌ لَمْ يَكُنْ يَقْسِمُ لَهَا
Sesungguhnya Rasulullah
mempunyai sembilan istri, beliau menggilirnya secara bergantian (dalam
melakukan hubungan seksual) kecuali pada satu istrinya yang tidak pernah beliau
gauli. (H.R Imam Nasa’i)
Dalam hadits lain yang juga diriwayatkan oleh Imam
Nasa’I, disebutkan bahwa satu istrinya yang tidak pernah beliau gauli adalah
Saudah. Sebenarnya bukan karena nabi tidak menyukainya hingga beliau tidak
pernah berhubungan seksual dengannya tapi karena Saudah tidak lagi berkeinginan
melakukan hubungan seksual, hingga ketika gilirannya digantikan kepada Aisyah,
hadits tersebut berbunyi :
Diceritakan dari Ibnu Abbas bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW
mempunyai sembilan istri,beliau melakukan dengan semua istrinya kecuali hanya
kepada saudah. Dia berikan hari dan malamnya untuk Aisyah. (H.R Muslim)
Dari hadits-hadits diatas, jelas bahwa nabi secara
bergiliran berhubngan seksual dengan semua istrinya. Hal ini tidak lain
dikarenakan dalam masalah hubungan seksual nabi yang melakukan poligami dihruskan untuk berbuat
adil kepada para istrinya. Keadilan untuk melakukan hubungan seksual juga
diwajibkan kepada semua laki-laki yang melakukan poligami seperti apa yang
telah dilakuka oleh nabi.
Adapun mengenai keadilan dalam masalah immateri, yakni
tentang cinta dan kasih sayang itu berada diluar kemampuan manusia. Nabi
bersabda :
Rasulullah SAW selalu membagi giliran sesama istrinya dengan adil.
Beliau pernah berdoa, Ya Allahini bagianku yang dapat aku kerjakan, karena
itulah janganlah mencelakanku tentang apa yang engkau kuasai sedangkan aku
tidak menguasainya, yang dimaksud adalah masalah hati. (H.R Abu daud)
Dari sini dapt difahami bahwa keadilan yang harus
diberiakn seorang yang berpoligami kepada para istrinya adalah sesuatu yang
bersifat dhohir. Sedangkan untuk masalah hati suami tidak dilarang untuk lebih
mencintai istri yang satu daripada istri yang lainnya karena hal ini berada
diluar kemampuan manusia.
Walaupun poligami diperbolehkan dengan syarat adil,
tetapi kalau kita cermati secara mendalam ternyata keadilan ini akan sulit
diwujudkan, karena pada umumnya ketika seorang wanita dipoligami dia akan
merasa sakit hati yang dimana hal ini akan menjadikan tidak terwujudnya suatu
tujuan pernikahan, yaitu untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan
rahmah. Sehingga ketika nabi ditanya oleh Amrah bintu Abdurrahman : “Ya Rasulullah
mengapa engkau tidak menikahi perempuan dikalanan Anshar yang beberapa dari
mereka terkenal kecantikannya? Rasul menjawab :”mereka perempuan-perempuan yang
mempunyai rasa cemburu yang besar dan tidak akan bersabar untuk dimadu. Aku
mempunyai beberapa istri dan aku tidak suka menyakiti perempuan berkenaan
dengan hal itu”.
Jawaban Rasulullah dalam hadits di atas mengandung
pengertian bahwa poligami pada hakkatnya menyakiti hati perempuan. Nabi terlalu
mulia untuk menyakiti hati perempuan, bahkan beliau diutus untuk mengangkat
martabat kaum perempuan yang ketika itu sudah sangat terpuruk.
Nabi juga tidak mengizinkan menantunya Ali bin Abi bin
Abi Thalib untuk memadu putrinya Fatimah Al-zahra denagn perempuan lain. Dalam
satu riwayat yang dinukilkan dari Al-Miswar ibnu Mukarramah bahwa ia telah
mendengar Rasulullah berpidato di atas mimbar. “sesungguhnya anak-anak Hisyam
ibnu Mughairah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putrinya dengan Ali,
ketahuilah bahwa aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku tidak
mengizinkannya, kecuali jika Ali bersedia menceraikan putriku dan menikahi anak
mereka. Sesungguhnya Fatimah bagian dari diriku. Barang siapa membahagiakannya
berarti ia membahagiakanku, sebaliknya barangsiapa yang menyakiyinta berarti
menyakitiku”.
Sangat logis dan manusiawi bila dalam hadits ini tidak
mengizinkan Ali untuk memadu putrinya, karena secara hakiki tidak ada seorang
ayah yang rela bila anaknya dimadu. Secara naluri, semua orangtua selalu
berharap agar putrinya merupakan satu-satunya istri dari suaminya, semua orang
tua tidak ingin ada perempuan lain dalam kehidupan suami anaknya.
Walaupun pada asasnya perkawinan dalam Islam adalah
monogami, tetapi keadaan poligami sampai saat ini tidak dapat dihapuskan karena
dalam keadaan tertentu poligami masih diperlukan, misalnya ketika wanita yang
dinikahinya mandul agar tidak diceraikan suaminya maka sang suami diperbolehkan
untuk menikah lagi (poligami).
Dari keterangan di atas sangat jelas bahwa pada
dasarnya bentuk perkawinan poligami sangat sulit untuk dapat mewujudkan
keluarga sakinah, mawaddah, warahmah, hingga nabi tidak berkeinginan untuk
menikahi wanita dari kaum Anshar yang pada umumnya mereka mempunyai rasa
cemburu yang sangat tinggi, selain itu nabi juga tidak memperbolehkan sahabat
Ali untuk memadu Fatimah, karena itulah menurut penulis keberadaan poligami
yang diperbolehkan dalam islam hanya diperuntukkan bagi laki-laki yang
benar-benar membutuhkannya, semisal bagi laki-laki yang mempunyai istri mandul,
tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sang suami.
H.
Pendapat Ulama
Menurut Maulana Umar Ahmad Utsmani
seorang Alim dari Pakistan dalam karyanya fiqh Al-Qur’an, menjelaskan
secara detail masalah poigami, pertama
dia menguraikan akar kata zauj yang dalam bahasa Arab berarti
pasangan (suami istri) atau satu dengan pasangan lain. Kedua, pasangan
tersebut saling melengkapi satu sama lain. Oleh karena itu, menurut dia
zawwaja atau tazawwaja
berarti seorang laki-laki atau perempuan mengawini perempuan atau
laki-laki lain, yang menyatakan secara tidak langsung dua orang, satu laki-laki
dan satu perempuan. Jadi kata zawwaja berarti mengharuskan satu laki-laki
dan satu perempuan, bukan banyak perempuan.[9] Yang
berarti dalam hal ini menganut asas monogami.
Muhammad Abduh memperbolehkan atau menyetujui
adanya poligami, akan tetapi ia sangat menentang praktek poligami dalam
masyarakat. Menurutnya disamping sulit merealisasikan keadilan diantara para
istri, sangat sulit juga membina masyarakat yang berpoligami. Hal itu dikarenakan
kondisi masyarakat yang tentram dan damai berasal dari keluarga, sementara
poligami tidak dapat menciptakan suasana seperti itu, malah sebaliknya
menciptakan permusuhan diantara para istri dan anak-anak dari masing-masing
keluarga.
Sebab lain Muhammad Abduh menentang poligami
dalam praktek, karena ia menganggap poligami sebagai biang keladi kerusakan
masyarakat yang terjadi di Mesir yang senang melakukan poligami sekaligus mudah
menjatuhkan talak karena mereka lebih mengutamakan kenikmatan seksual dan
tenggelam dalam memperturutkan hawa nafsunya dan tidak dibarengi dengan
peningkatan pendidikan dan peradaban. Bahkan ia mengatakan berdasar kaidah
“Dar’u al-mafasid muqaddamu ‘ala jalbi al-mashalih” maksudnya mencega
mudharat harus didahulukan dapi pada mengambil manfaat, maka Inna ta’adduda
az-zaujati muharromun qath’an ‘inda al-khaufi min ‘adami al-‘adli’
(sesungguhnya poligami itu diharamkan secara pasti kalau dikhawatirkan tidak bias berbuat adil). Dengan ini Muhammad
Abduh menyatakan bahwa poligami haram apabila tidak mungkin
berbuat adil kepada para istrinya
dan juga berarti keadilan diantara masing-masing keluarga.[10]
Para ulama Hanafi berpendapat bahwa
perilaku adil merupakan salah satu hak istri dan menjadi kwajiban bagi suami.
Mereka pun berpendapat bahwa disaat suami tidak bisa berlaku adil, maka pihak
istri bisa mengadukannya kepada hakim hingga kekuasaan hakim pun diharap bias memberi
peringatan kepadanya dan juga menghukum atas ketidak adilannya tersebut. Bila
suami masih tetap tidak berlaku adil, maka hakim pun bias memukulnya tanpa
harus mengurungnya dalam penjara. Semua itu ditetapkan demi mencapai tujuan
utama dari suatu pernikahan yakni usaha saling membahu dalam menjalankan
kehidupan dan berlaku baik kepada istri.[11]
Rasyid Ridha berpendapat bahwa
idealnya perkawinan adalah monogami. Poligami dibolehkan dalam keadaan
dharurat. Akan tetapi meskipun dalam keadaan dharurat poligami diperbolehkan
dengan syarat jaminan untuk tidak akan muncul kejahatan dan kedzaliman harus
dipenuhi terlebih dahulu. Jadi dalam hal ini Rasyid Ridha sependapat dengan
Muhammad Abduh bahwa poligami diperbolehkan dengan syarat keadilan terpenuhi
diantara para istri sehigga tidak muncul kejahatan dan kedzaliman yang
berdampak buruk bagi masyarakat.
Dalam bukunya Nida’ li al-jins
al-latif Rasyid Ridha mengatakan bahwa poligami diharamkan bagi mereka yang
akan berlaku aniaya terhadap kaum perempuan dengan mencintai salah seorang
istri dari paa istri yang lain karena kelebihan yang dimilikinya, atau
sebaliknya karena membenci salah seorang istri karena kekurangannya. Padahal
syarat diperbolehkannya poligami adalah apat berbuat adil kepada para istri,
sementara adil adalah masalah yang sulit untuk dilakukan.
Rasyid Ridha menjelaskan tiga
masalah pokok yang berkaitan dengan poligami yaitu, pertama, islam tidak
menganjurkan apalagi mewajibkan poligami, tetapi menunjukkan bahwa sedikit
sekali pelaku poligami yang bisa berbuat adil, bahkan dapat dikatakan hampir
tidak ada yang bisa adil membagikan rasa cinta terhadap semua istrinya,
sehingga mereka sulit sekali membebaskan dari penganiayaan dan kedzaliman yang
diharamkan. Jadi seorang laki-laki yang akan berpoligami hendaknya
mempertimbangkan dengan matang soal tujuan, kemauan dan melihat lebih jauh
kedepan tentang kemanfaatan dan kemudharatannya.
Kedua,
Islam tidak mengharamkan poligami secara mutlak, tetapi juga tidak terlalu
longgar. Hal ini mengingat watak dan kebiasaan laki-laki yang tiak puas dengan
satu istri, karena adanya tuntutan mencari keturunan, jumlah perempuan yan
terlalu banyak dank arena banyak janda atau perempuan yang tidak memiliki suami
atau pelindung untuk memberikan nafkah, sementara itu dipihak lain banyak
laki-laki yang cukup kaya dan mampu menghidupi lebih dari satu istri. Ketiga,
islam memberikan hukum mubah atau boleh atas poligami dengan syarat ketat dan berbagai
sebab seperti di atas dismping harus mempertimbangkan dampak buruknya.[12]
Dalam masalah ini Syahrur berada
dalam posisi moderat. Pembolehan praktik poligami baginya harus
mempertimbangkan batas-batas kualitatif. Yang dimaksud batas-batas
kualitatif disini adalah kualitas istri kedua tersebut apakah perawan, janda karena
ditinggal mati suaminya atau janda karena dicerai suaminya.[13]
Para Ahli Fiqh bersepakat bahwa
seorang suami tidak boleh mendatangi rumah seorang istri yang tidak pada
waktunya, kecuali karena ada kebutuhan yang mendesak yang mengharuskanya untuk
datang mengunjunginya. Namun demikian ia boleh mengucapkan salam untuk istri
yang belum mendapat giliranya dari balik pintu dan menyatakan kabarnya tanpa
harus memasuki rumahya.
Berbagai referensi buku memaparkan
bahwa disaat seorang lelaki telah memasuki rumah istrinya yang mendapat
gilirannya dan kemudian pintu itupun ditutup maka sudah menjadi kewajibannya
untuk bermalam dengannya dan ia tidak boleh pergi kerumah istri lainnyakecuali
karena suatu halangan yang mendesak.
[1]
Imam malik, Muwattha juz 4,
[2]
munawwir, 2002, Kamus Al-Munawir Arab-indonesia, Surabaya, Pustaka Progresif. H
1416
[3]
ibid, h 1335
[4]
Al-maktabah as-syamilah dalam kitab at-tahdibu al-kamal
[5]
Al-maktabah as-syamilah dalam kitab tahdib al-kamal
[6]
Al-maktabah as-syamilah dalam kitab tahdib al-kamal
[7]
Abi Bakar Ahmad bin Al-husin Al-baihaqi, As-sunan Shagir, Darul Fikr,
Beirut , 1994. lihat juga dalam kitab As-sunan Al-kabir li Al-baihaqi juz 7 h 150
[8]
Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, h 47
[9]
Asghar Ali Engineer, pembebasan perempuan, (LKIS, Yogyakarta, 2003) hal 119
[10]
Nur Jannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan (LKIS, Yogyakarta, 2003) hal 223
[11]
Syekh Ali Muhammad Al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam, (Gema Insani,
Jakarta 2006) hal 324
[12]
Ibi hal 223
[13]
Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa Al-Qur’an, (Dar Al-Ahali li ath-thibaah wa
an-nasyr wa at-tauzi, Syiria 1990) al 598
baca artikel lainnya : BIOGRAFI TOKOH TUTORIAL ILMU KOMPUTER KISAH TELADAN KUMPULAN HUMOR
0 comments:
Post a Comment