$0D

14.11.11

Hukum Transaksi Jual Beli secara Kredit


Salah satu kegiatan bisnis yang terjadi di zaman modern ini adalah jual beli barang secara kredit dengan harga yang labih tinggi dari pada biasanya. Prakteknya adakalanya si tukang kredit memasang dua harga, jika beli secara kredit harganya sekian dan kalau tunai harganya sekian.

Tetapi adakalanya memang si tukang kredit hanya menjual barang secara kredit saja. Tentu harga jual barang secara kredit lebih mahal dari pada jual kontan. Bagaimana status hukum dari transaksi seperti ini?

Para ulama merumuskan kaidah tentang hukum transaksi (mu’amalah) bahwa pada prinsipnya hukum bertransaksi adalah boleh (mubah) kecuali kalau di dalamnya terdapat unsur penipuan (gharar), sepekulasi (maysir), riba dan  barangnya dijual dua kali.

Ada istilah yang umum yakni transaksi “dijual dua” yakni menjual suatu barang kepada dua orang atau lebih, atau mentransaksikan suatu barang dengan harga kredit dan harga tunai tetapi si pembeli langsung membawanya tanpa menjelaskan apakah membeli dengan secara tunai atau dengan secara kredit.

Nah, untuk transaksi model kredit ini, para ulama berbeda pendapat: (1) Jumhur ahli fiqih, seperti mazhab Hanafi, Syafi'i, Zaid bin Ali dan Muayyid Billahi berpendapat, bahwa jual-beli yang pembayarannya ditangguhkan dan ada penambahan harga untuk pihak penjual karena penangguhan tersebut adalah sah. Menurut mereka penangguhan itu adalah harga. Mereka melihat kepada dalil umum yang membolehkan.

(2).Jumhur ulama menetapkan, bahwa seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang pantas, karena pada asalnya boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada. Sebaliknya kalau sampai kepada batas kezaliman hukumnya berubah menjadi haram.

(3). Pendapat lainnya mengatakan bahwa upaya menaikkan harga di atas yang sebenamya lantaran kredit (penangguhan pembayaran) lebih dekat kepada riba nasiah (tambahan harga karena limit waktu) yang jelas dilarang oleh nash Al-Qur’anul Karim.

Jadi, menurut hemat saya, transaksi jual beli secara kredit hukumnya sah dan halal asalkan akad (transaksinya) antara penjual dan pembeli dilakukan secara jelas (aqd sharih). Artinya, antara penjual dan pembeli sama-sama mengetahui dan terdapat kesepakatan harga barang dan batas waktu pada saat akad.

Transaksi jual beli secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dibanding membeli secara kontan hukumnya sah dan halal. Dengan syarat, transaksi antara penjual dan pembeli dilakukan dengan aqd sharih ’adam al jahalah (dilakukan secara jujur dan mensepakati batas waktu dan harga barang).

Jangan sampai akad sudah selesai dan barang sudah di bawa pulang sementara antara penjual dan pembeli belum ada kesepakatan, apakah membeli secara tunai atau kontan. Sehingga si pembeli memutuskan sendiri dalam akadnya setelah beberapa waktu dari waktu transaksi. Ketidakjelasan seperti ini hukumnya haram karena akadnya tidak jelas (sharih).

HM Cholil Nafis, Lc., MA
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU


Nashbul Imam dan Kepemimpinan
31/03/2008
Menurut pandangan Islam, pada hakikatnya kekuasaan adalah amanat Allah SWT yang diberikan kepada seluruh manusia. Kemudian kekuasaan itu diwakilkan kepada pihak-pihak yang ahli dalam mengemban dan memikulnya.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit dan bumi. (QS Al-Ahzab: 72)

Dalam wacana faham Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) bahwa membangun negara (imamah) adalah wajib syar'i. Hal tersebut didasarkan pada dalil-dalil berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An-Nisa`: 59)
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مَْيتَةً جَاهِلِيَّةٌ

Barangsiapa yang meninggal tanpa pernah melakukan baiat (janji loyal kepada pemimpin), ia mati secara jahiliyah. (HR Muslim)

Bahwa keahlian memegang amanat kekuasaan mensyaratkan kemampuan, kejujuran, keadilan dan kejuangan yang senantiasa memihak kepada pemberi amanat.
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَاً

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (QS An-Nisa`: 58)
إذَا ضُيِّعَتْ الأمَانَةُ فَانْتَظِرُ السَّاعَةَ. قِيْلَ وَكَيْفَ إضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إذَا وُسِدَ الْأمْرُ إلَى غَيْرِ أهْلِهِ

Apabila amanat disia-siakan maka tunggulah masa kehancurannya. Rasulullah ditanya seseorang: "Bagaimana menyia-nyiakan amanat itu?" Beliau menjawab: "Apabila suatu pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya." (HR Bukhari)

Proses pengangkatan kepemimpinan negara (nashbul imam) sebagai pengemban dan pemikul amanat kekuasaan, menurut Islam, dapat dilakukan dengan beberapa alternatif/cara yang disepakati oleh rakyat sepanjang tidak bertentangan dengan syari'ah.

Sebuah negara harus dibangun nilai-nilai luhur keislaman yang antara lain meliputi: al-'adalah (keadilan), al-amanah (kejujuran), dan as-syura (kebersamaan).
وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً

Apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS An-Nisa`: 58)

Untuk merealisasikan nilai-nilai luhur tersebut diperlukan wujudnya pemerintahan yang demokratik, bersih dan berwibawa.

Untuk melahirkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa diperlukan adanya kesadaran dan keinginan yang kuat dari rakyat untuk bersama-sama melahirkannya.

Negara yang demokatik yang merupakan perwujudan syura dalam Islam menuntut para pemimpinnya bukan saja bersedia untuk dikontrol, tetapi menyadari sepenuhnya bahwa kontrol sosial merupakan kebutuhan kepemimpinan yang memberi kekuatan moral untuk meringankan beban dalam mewujudkan pemerintahan yang adil, bersih dan berwibawa.

(Bahtsul masa'il diniyyah maudluiyyah pada Munas Alim Ulama di Pondok Pesantren Qomarul Huda, Bagu, Pringgarata, Lombok tengah, Nusa Tenggara Barat, 16-20 Rajab 1418 H / 17 November 1997 M)

0 comments:

Get Paid To Promote, Get Paid To Popup, Get Paid Display Banner

 
Design by ABDUL QOHWAH | KOPLAK FAMILY