Akhlaq Pelajar Terhadap
SesamaPelajarannya.
Akhlaq pelajar terhadap
pelajaranya dan hal-hal yang harus ia pegang ketika bersama-sama dengan syaikh
(ulama’) dan teman-temannya. Mengenai hali ini ada sepuluh etika, yaitu :
Satu, Hendaknya pelajar memulai pelajaran
dengan pelajaran-pelajaran yang sifatnya fardlu ‘ain, sehingga pada langkah pertama ini ia cukup menghasilkan
empat ilmu pengetahuan yaitu:
a. Pelajar harus
mengetahu tentang ilmu tauhid, ilmu yang
mempelajari tentang ke Esa-an Tuhan. Ia harus mempunyai keyakinan bahwa Allah
SWT itu ada, mempunyai sifat dahulu, kekal
serta tersucikan dari sifat-sifat kurang dan mempunyai sifat sempurna.
b. Cukuplah bagi
pelajar untuk mempunyai keyakinan, bahwa
Dzat Yang Maha Luhur mempunyai sifat kuasa, menghendaki, sifat ilmu, hidup,
mendengar, melihat, kalam. Seandainya ia menambahnya dengan dalil atau
bukti-bukti dari Al-Qur'an dan Al-Sunnah maka itu merupakan kesempurnaan ilmu.
c. Ilmu fiqh, ilmu
yang dipergunakan untuk mengetahu ilmu–ilmu syari’at islam yang diambil dari
dalil-dalil syara’ tafsily. Ilmu ini merupakan suatu ilmu pengetahuan yang
mampu mengantarkan kepada pemiliknya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT
(taat ), dimulai dari cara-cara bersuci, shalat, puasa.
Apabila pelajar (murid) termasuk orang-orang
yang mempunyai harta melimpah (min jumlatil agniya’ ) maka ia harus
mempelajari ilmu yang mempunyai kaitan dengan harta tersebut , ilmu ekonomi , iqtishad.
Ia tidak diperbolehkan untuk mengamalkan, mengimplementasikan, mengejawantahkan sebuah ilmu sebelum ia
mengerti tentang hukum-hukum Allah.
Kempat, ilmu tasawuf, ilmu yang
menjelaskan tentang keadaan–keadaan, maqam, tingkatan, dan membahas tentang
rayuan dan tipu daya nafsu dan hal-hal
yang berkaitan dengannya.
Secara keseluruhan Imam Al Gazali
telah menyebutkan keempat macam ilmu tersebut dalam kitabnya : “BIDAYAH AL
HIDAYAH”, juga telah di sebutkan oleh Sayyid Abdullah bin Thahir
dalamkitab “SULLAM AL TAUFIQ”.
Dua, Setelah santri mempelajari
ilmu-ilmu yang bersifat fardlu ‘ain maka hendaklah dalam langkah selanjutnya ia
mempelajari ilmu-ilmu yang berkatan dengan kitab Allah (tafsir Al Qur’an)
sehingga ia mempunyai keyakinan dan i’tiqad yang sangat kuat.
Ia harus bersungguh-sungguh dalam
memahami tafsir Al Qur’an dan beberapa ilmu yang lain, karena Al Qur’an
merupakan sumber dari segala ilmu pengetahuan yang ada di muka bumi dan
sekaligus induk dan ilmu yang paling penting, setelah itu hendaknya ia
menghafalkan setiap materi, ilmu yang pembahasannya tidak terlalu panjang,
bertele-tele (ikhtishar) yang dikumpulkan dari ilmu hadits, hadits, fiqh, ushul
fiqh, nahwu dan sharaf.
Kesibukan yang dijalani oleh pelajar
dalam mencari ilmu jangan sampai melupakan untuk membaca Al Qur,an ,
menjaganyha, selalu istiqamah dan selalu membacanya sebagai kegiatan
sehari-hari (wadhifah). Hendaknya ia mampu menjaga Al qur’an setelah
menghafapalkannya, karena berdasarkan dalil al hadits yang menjelaskan tentang
hal itu.
Setelah santri mampu menghafalkan
Al Qur’an dengan baik, maka hendaklah hafalan itu ditashihkan , disetorkan
kepada seorang guru (kyai) untuk disima’ dan didengar. Ketika sedang terjadi
proses menghafalkan itu pelajar sejak awal menjaga dirinya jangan sampai selalu berpegang, melihat pada kitabnya,
bahkan dalam setiap materi pelajaran semestinya ia harus berpegang teguh pada
orang-orang yang bisa memberikan pengajaran, pendidikan yang baik terhadap
materi tersebut dan lebih mengutamakan praktek.
Sebagai santri ketika berada
dihadapan gurunya ia harus selalu menjaga agamanya, menjaga ilmunya, kasih akung
pada yang lain dan sebagainya. …..
Tiga, sejak awal pelajar harus bisa
menahan diri dan tidak terjebak dalam pembahasan mengenai hal-hal yang
masih terdapat perbedaan pandangan,
tidak ada persamaan persepsi di antara
para ulama’ (khilafiah ) secara mutlak
baik yang berhubungan dengan pemikiran-pemikiran ataiu yang bersumber dari
Tuhan, karena apabila hal itu masih dilakukan oleh pelajar maka sudah barang
tentu akan membuat hatinya bingung, dan membuat akal fikiran tidak tenang.
Bahkan sejak awal ia harus bisa
meyakinkan dirinya untuk berpegang pada hanya satu kitab saja dalam satu materi
pelajaran, dan bebrapa kitab pada bebera meteri pelajaran dengan syarat apabila
ia mampu dengan menggunakan satu metode dan mendapat izin dari sang kyai
(guru), namun apabila sistem pengajaran yang telah diberikan oleh gurunya itu
hanya menukil, memindah pendapat dari beberapa mazhab dan masih ada ikhtilaf di
kalangan ulama’ itu sendiri sedangkan ia sendiri tidak mempunyai satu
pendapatpun, maka sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam Al Gazali,
hendaknya ia mampu menjaga dari hal seperti itu karena antara manfaat dan
kerusakan (mafsadat) masih lebih banyak kerusakannya.
Begitu juga seorng santri ketika
masih dalam tahap permulaan dalam belajar hendaknya ia menghindarikan diri
mempeleajari berbagai macam buku, dan kitab karena hal itu akan visa
menyia-nyiakan waktunya dan hati tidak biasa konsentrasi., tidak fokus pada
satu pelajaran bahkan ia harus memberikan seluruh kitab-kitab dan pelajaran
yang ia ambil kepada gurunya untuk dilihat sampai dimana kemampuan pelajar
sehingga guru bisa memberikan bimbingan dan arahan sampai pelajar yaqin, dan
mampu dalam menguasai palajarannya.
Begitu juga menukil,. Memindah,
meresum dari satu kitab pada kitab yang lain tampa adanya hal-hal yang
mewajibkan, karena apabila hal itu dilakukan maka akan muncul indikasi,
pertanda kebosanan dan menjadi tanda bagi orang yang tidak bisa memperoleh
kebahagiaan.
Namun apabila sang santri sudah
mempunyai basic, latar belakang kemampuan yang sudah memadai dan menukil suatu permasalahan hanyalah untuk meningkatkan dan megembangkan kemampuan
yang ia miliki , maka yang lebih baik adalah hendaknya ia tidak meninggalkan
satupun dari pelajaran- pelajaran ilmu agama (syara’ ) karena yang bisa menolong hanyalah taqdir
dari Allah SWT, semoga diberi umur panjang oleh Allah untukmemperdalam ilmu
agama (syara’).
Empat, Sebelum menghafalkan sesuatu
hendaknya pelajar mentashihkan terlebih dahulu kepada orang seorang kyai (guru)
atau orang yang mempunyai kapabilitas dalam ilmu tersebut, setelah selesai
diteliti oleh gurunya barulah ia menghafalkannya dengan baik dan bagus.
Setelah menghafalkan materi
pelajaran, hendaklah di ulang-ulangi sesering mungkin dan menjadikan kegitan
taqrar sebagai wadhifah, kebiasaan yang dilakukan setiap hari. Janganlah
menghafalkan ssuatu sebelum diteliti, ditashih oleh seorang kyai atau
orang yang mempunyai kemampuan dalam bidang itu, karena akan mengakibatkan , menimbulkan ekses
yang negatif. Misalnya merubah makna atau arti dari kalimat tersebut. Dan telah
dijelaskan pada bab-bab terdahulu bahwa ilmu pengetahuan itu tidak di ambul
dari sebuah kitab atau buku, tetapi diambil dan diperoleh dari seorang guru
karena hal itu merupakan kerusakan yang sangat berbahaya.
Ketika sedang mengkaji sebuah ilmu
pengetahuan, hendaknya pelajar mempersiapkan tempat tinta, puklpen dan pisau
untuk memperbaiki dan membenerkan hal-hal yang perlu diperbaiki baik dalam segi
bahasa atau i’rab.
Lima, Hendaknya pelajar (murid)
berangkat lebih awal. Lebih pagi dalam rangka untuk mencari ilmu , apalagi
berupa ilmu hadits, dan tidak menyia-nyiakan seluruh kesempatan yang ia
miliki untuk menggali ilmu pengetahuan
dan meneliti sanad-sanad hadits, hukum-hukumnya, manfaat, bahasa, cerita-cerita
yang terkandung didalamnya, dan bersungguh-sungguh sejak awal dengan kitab “Shahih
Bukhari “dan “Shahih Muslim” kemudian kitab-kitab
pokok yang lainya yang biasa dipakai pedoman, rujukan pada masa sekarang,
seperti Muattha’nya imam Maliki dan Sunan Abu Daud, Sunan Nasa’i, Sunan
Ibnu Majah, kitab Jami’nya Imam Turmudzi. Dan tidak seharusnya bagi pelajar untuk meminimalisasikan batsan-batasan yang
telah dikemukakan diatas.
Sebaik-baiknya kitab yang
bisa,mampu menolong kepada orang yang alim, orang yang ahli dalam ilmu fiqh
adalah kitab “Sunan Al Kubra” Karya Abu Bakar Al
Baihaqy, karena sesungguhnya hadits merupakan salah satu dari dua sisi imu
syari’at dan sekaligus mampu menjelaskan terhadap begitu banyaknya persoalan
yang ada pada sisi yang lain (Al Qur’an)
artinya adalah al Qur’an merupakan kitab suci yang kandunagn isinya bersifat
universal, oleh karenanya dibutuhkan alat untuk menerjemahkan isi al qur’an
tersebut yaitu al Hadits.
Imam Al Syafi’i berkata : “Barang
siapa yang mampu mempelajari kitab hadits , maka ia akan memiliki hujjah yang
sangat kuat”.
Enam, Ketika pelajar telah mampu
menjelaskan, mengejawantahkan terhadap apa yang ia hafalkan walaupun masih
dalam tahap ikhtishar dan bisa menguraikan kemusykilan yang ada dan
faidah-faidah yang sangat penting, maka ia diperbolehkan pindah untuk membahas
kitab-kitab besar serta tiada henti, terus menerus menelaah tanpa mengenal rasa
lelah.
Hendaknya pelajar memiliki
cita-cita tinggi, sangat luhur, ibaratnya kaki boleh dibumi tapi cita-cita
menggelantung diangkasa, sehingga tidak boleh merasa cukup hanya memiliki ilmu
yang sedikit, padahal ia masih mempunyai kesempatan yang cukup untuk mencari
ilmu sebanyak-banyakanya, santri tidak boleh bersifat qana’ah (menerima
apa adanya) seperti yang diwariskan oleh para nabi, yaitu menerima sesutu
walaupun naya sedikit. Santri tidak boleh menunda-nunda dalam mendapatkan
sebuah ilmu pengetahuan dan manfaat yang sangat mungkin ia peroleh, karena
menunda sesuatu itu mengandung beberapa bahaya, disampimng itu apabila pelajar
bisa mendapatkan ilmu secara cepat dan tepat waktu maka pada waktu yang lain ia
bia mendapatkan sesuatu yang lain.
Santri harus selalu menggunakan
kesempatan dengan sebaik-baiknya terhadap waktu luangnya, kecekatannya,
ketelitiannya, dan waktu sehatnya dan dimasa mudanya sebelum datngnya perkara
yang bisa mencegah untuk mencari, menimba ilmu pengetahuan.
Santri harus menjaga dalam melihat
terhadap dirinya sendiri dengan pendangan yang penuh kesempurnaan, tidak
membutuhkan terhadap petunjuk-petunjuk seorang guru dalam mempelajari ilmu,
karena hal itu merupakan hakekat dari kebodohan dan kesombongan.
Tokoh para tabi’in, Sa’id bin
Jubair r.a. berkata; “Seorang laki-laki selalu mendapat sebutan, predikat
aorang yang alim bila ia selalu belajar, menambah ilmu pengetahuan, namun
apabila ia telah meninggalkan belajar dan menyangka bahawa dirinya adalah orang
yang tidak membutuhkan terhadap ilmu (merasa pinter) maka, sebenarnya ia adalah
orang yang paling bodoh .
Tujuh, Pelajar harus selalu mengikuti halaqah,
diskusi dan musyawarah degan gurunya dalam setiap pelajaran, kalau memungkinkan
ia membacakannya. Karena hal itu apabila dilkaukan oleh santri maka ia akan
selalu mendapat kebaikan, menghasilkan setiap sesuatu yang ia harapkan,
cita-citakan, memperoleh sopan santun yang baik serta memdapatkan keutamaan dan
kemulyaan.
Santri harus selalu
bersungguh–sungguh dlam nberkhidmat kepada gurunya karena akan menghasilkan
kemulyaan, penghormatan. Dan apabila memungkinkan santri tidak boleh mengadakan
diskusi, halaqah dengan gurunya hanya untukmendengarkan pelajarannya saja,
bahkan ia harus bersungguh-sungguh dalam setiap pelajaran yang diterangkan oleh
gurunya, dengan tekun, konsentrasi dan penuh perhatian , apabila hal itu bisa
ia lakukan dan hatinya tidak merasa keberatan, dan selalu mengadakan musyawarah
dengan para sahabatnya sehingga setiap pelajaran yang telah disampaikan oleh
gurunya ia kuasai dengan baik.
Apabila ia tidak mampu untuk
menguasai secara keseluruhan, maka hendaknya ia memprioritaskan pelajaran yang
lebih penting terlebih dahulu kemudian baru pelajaran yang lain.
Seyogianya pelajar (murid) selalu
mengingat-ingat setiap peristiwa, kejadian yang terjadi dalam forum diskusi
dengan gurunya, beberapa manfaat, qaidah-qaidah, definisi, batasan dan lain
sebagainya . Disamping itu pelajar hendaknya mengulangi perkataan guru ketika
sedang terjadi proses diskusi, karena mengingat–ingat sesuatu hal itu mempunyai
manfaat yang sangat luar biasa.
Al Khtaib Al Baghdadi telah berkata
: “Bahwa mudzakarah , mengingat pelajaran yang paling baik adalah
dilakukan pada waktu malam hari. Sekelompok jama’ah rombongan dari ulama’
salaf mereka memulai mudzakarah
mulai setelah isya’, mereka tidak
beranjak dari tempat mudzakarah tersebut selama belum berkumandang adzan
subuh, apabila santri tidak menemukan teman yangbisa untuk diajak mudzakarah,
meingat–ingat pelajaran, maka hendaknya ia melakukannya pada diriny sendiri, ia
mengulangi makna atau arti dari setiap kata/ lafadz yang ia dengar dalam
hatinya supaya menancap dan membekas dalam lubuk hatinya. Karena mengulangi
makna, arti dalam hati itu sama dengan mengulangi kata atau lafadz pada lisan.
Namun sangat sedikit sekali orang-orang yang tidak menggunakan akal nya untuk
berfikir bisa memperoleh kebahagiaan, wabil
khusus dihadapan gurunya, terkadang menggunakan akal dan terkaang
meninggalkannya , lantas tidak membiasakan diri untuk menggunakan kekuatan otak
yang dimiliki.
Delapan, Apabila pelajar menghadiri pertemuannya dewan guru , hndaklah
ia mengucapkan salam kepada orang telah hadir pada forum tersbut dengan suara
yang bisa mereka dengar dengan jelas, apalagi terhadap seorang kyai dengan
memberikan penghormatan yang lebih tinggi dan memulyakan. Begitu juga apabila
santri keluar dari forum tersebut.
Apabila pelajar mengucapkan salam
pada sebuah forum, maka ia tidak diperkenankan melewati orang–orang yang ada di
tempat tersebut untuk mendekat pada sang kyai, ia duduk ditempat yang bisa di
datangi oleh orang lain, kecuali apabil sang kyai, para jama’ah yang lain
memintannya untuk maju kedepan, maka tidak ada masalah apabila santri itu maju
dengan melewti orang terlebih dahulu hadir pada majlis tersebut.
Pelajar tidak boleh memindah
tempat duduknya orang lain atau berdesak-desakan dengan sengaja, apabila ada
orang lain yang mempersilahkan santri itu untuk menempati tempat duduknya, maka
janganlah ia menerimanya kecuali ada kemaslahatan, kebaikan yang diketahui oleh
orang lain, atau orang banyak yang memproleh
dan mendapatkan manfaat, seperti ia bisa menjelaskan persoalan bersama-sama
dengan gurunya ketiak berdekatam, disamping itu ia (santri) termasuk orang yang
mempunyai banyak umur, kebagusan dan kewibawaan.
Pelajar tidak boleh mengambil
tempat duduk ditang-tengah pertemuan, disepan seseorang kecuali dalam keadaan
dlarurat, duduk diantara dua orang yang bersahabat kecuali mereka merelakannya,
duduk di atas orang yang lebih mulia di bandingkan dengan dia sendiri.
Hendaknya pelajar berkumpul dengan
para sahabatnya ketika membahas sebuah pelajaran, atau membahas beberap
pelajaran dri satu arah supaya ketika seorang guru mneyampaiakn penjelasan
sebauh persoalan, materi pelajaran bisa utuh dan tidak terganggu.
Sembilan, Pelajar hendaknya tidak
segan-segan, tidak perlu malu menanyakan sebuah pesoalan yang menurutnya sangat
musykil, sulit dan memahami setiap sesuatu yang belum ia fahami dengan
baik dan benar dengan menggunakan bahasa yang lembut, halus, baik perkataanya,
dan menggunakan sopan santun . Suatu
ketika pernah dikatakan bahwa : “Barang siapa dari roman mukanya tampak rasa
malu untuk menanyakan sesuatu , maka akan tampak kekeurangannya ketika
berkumpul dengan orang lain”.
Mujahid r.a. berkata : “Orang yang
mempounyai sifat malu dan orang yang sombong
tidak akan bisa mempelajari ilmu pengetahuan”.
‘Aisyah r.a. telah berkata :
“Semoga Allah mengasihi pada perempuannya kaum anshar, karena sifat malu mereka
mencegahnya dalam memepelajari ilmu agama”.
Ummu Sulaim, istri Rasulullah
berkata : “Sesungguhnya Allah tida akan pernah malu terhadap sesuatu yang hak,
benar, apakah terhadap orang perempuan yang mempunyai suami yang memandikannya
ketika istrinya bermimpi mengeluarkan air sperma ?.
Pelajar tidak boleh mennyakan
sesuatu yang bukan pada tempatanya, kecuali karena ia membutuhkannya atau ia mengerti dengan memberikan solusi
kepada gurunya untuk bertanya. Apabila guru tidak menjawab, maka hendaknya ia
jangan memaksannya, namun apabila belaiu menjawab dan kebetulan salah, maka santri tidak boloeh menolaknya seketika.
Seharusnya yang dilakukan oleh pelajar
adalah tidak malu-malu untuk bertanya, begitu juga hendaknya ia tidak malu
mengucaokan kata-kata seperti ini : “Aku
belum faham”, apabila ia ditanya oleh
gurunya , apakah engkau faham ? sedangkan ia sendiri belum faham.
Sepuluh, Bila dalam belajar santri
menggunakan sistem Sorogan, suatu metode belajar dengan maju satu
persatu dan langsung disimak dan
diperhatikan oleh ustadznya, maka ia harus harus menuggu gilirannya
dengan tertib, tidak mendahului peserta yang lain kecuaili apabila ia
mengizinkannya.
Dalam sebuah hadits telah
diriwayatkan bahwasanya suatu ketika ada seorang lelaki dari sahabat anshar
menjumpai rasulullah, sambil bertanya mengenai sesuatu, setelah itu datang lagi
seorang laki-laki dari Bani Tsaqib kepada beliau, juga bertujuan yang sama,
menanyakan sesuatu kepada beliau, kemudian nabi SAW menjawab : “Wahai saudaraku
dari Bani Tsaqif, duduklah! Aku akan memulai mengatakan sesuatu yang dibutuhkan
oleh sahabat Anshar tadi, sebelum kedatanganmu, Al Khatib berkata “Bagi
orang-ornag yang datangnya lebih dulu disunnahkan untuk mendahulukan orang yang
jauh dari pada dirinya sendiri, karena untuk menghormatinya.
Begitu juga bagi orang yang datang
belakangan apabila mempunyai kebutuhan, keperluan yang sifatnya wajib dan orang
yang lebih awal mengerti akan keadaanya maka hendaknya ia didahulukan,
diutamakan. Atau ustadz memberikan sebuah isyarat untuk mengutamakannya karena
adanya kemaslahatan, kebaikan yang tersembunyi di dalamnya maka ia disunnahkan
untuk diutamakan.
Mendapat giliran lebih awal
sebenarnya bisa diperoleh dengan cara datang lebih awal pada majelis, forum
yang dipakai oleh ustadz untuk melakukan transformasi keilmuan. Dan hak yang
diiliki oleh seseorang tidak akan pernah gugur sebab perginya orang
tersebut karena sesuatu yang bersifat
dlarurat, misalnya menunaikan hajat, memperbarui wudlu’ dengan ketentuan
apabila ia kembali pada tempat semula.
Apabila ada dua orang yang saling
mendahului atau saling rebutan tempat, maka hendaknya keduanya di undi, atau
ustadz yang menentukan mana yang lebih dulu berhak menempatinya, apabila salah
satunya melakukan perbuatan yang baik.
Sebelas, Menjaga kesopanan duduk
dihadapan ustadz ketika mengikuti kegiatan belajar dan juga harus memperhatikan
kebiasaan, tradisi yang selama ini dipakai, diterapkan oleh ustadz dalam
mengajar.
Santri hendaknya kitab ustadznya
yang hendak dibacanya bersama-sama dengan kitabnya sendiri dan membawanya
dengan kedua tangannya dan tidak boleh meletakkan kitabnya ustazd di atas tanah
dalam keadaan terbuka ketika hendak dibacanya. Bahkan sang santri harus membawa
dengan tangannya sendiri, ia tidak diperbolehkan membaca kitab ustazd kcuali
atas izin beliau, disamping itu sang santri tidak boleh membaca kitab ketika
hati sang ustadz sedang kalut, bosan, marah, susah dan sebagainya.
Apabila ustazd memberikan izin,
maka santri sebelum membaca kitab
hendaknya membaca, taawwudz, basmalah, hamdalah, sholawat kepada nabi saw,
keluarganya, para sahabatnya, kemudian mendoakan kepada ustazdnya, orang tua
para gurunya, dirinya sendiri, kaum muslimin semuanya. Dan memintakan rahmat
kepada allah untuk pengarang kitab ketika membacanya.
Dan apabila pelajar mendoakan
ustazdnya, maka hendaklah ia mengucapkan kata-kata : mudah-mudahan Allah
meridhoi kalian semua, guru-guru kami, pemimpin kami dan sebaginya. Dan semua
doa yang dipanjatkan oleh santri semuanya dikhusukan untuk gurunya.
Apabila santri telah selesai
belajar, hendaknya ia juga mendoakan terhadap ustazdnya. Apabila santri tidak
memulai dengan hal hal yang telah disebutkan diatas, baik karena lupa atau
karena kebodohannya sendiri, maka hendaknya ustazd mengingatkan terhadap santri
tersebut, mengajarinya, dan mengingatkannya, karena hal itu termasuk etika,
akhlak yang paling penting.
Dua belas, Menekuni pelajaran secara
seksama dan perhatian dan tidak berpindah pada pelajaran yang lain sebelaum
pelajaran yang pertama bisa difahami dengan baik, tidak boleh pindah baik dari
negara ke negara yang lain, atau dari satu madrsah kemadrasah yang lainkecuali
darurat dan ada keperluan yang sangat mendesak,. Karena hal itu akan
menimbulkan berbagai macam persoalan, membuat hati menjadi resah, gundah dan
menyia-nyiakan waktu dengan percuma tampa ada hasilnya.
Hendaknya santri selalu pasrah dan
berserah diri kepada Allah, ia tidak boleh menyibukkan dirinya dengan masalah
rizqi, permusuhan dan bertentangan dengan seseorang, menjauhkan diri dari
pergaulan orang-orang yang ahli dalam hal bicara, ahli kerusakan, maksiat dan
orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap (pengangguran). Karena
berdampinganag, hidup bertangga dengan orang-orang seperti itu pasti
menimbulkan ekses, dampak yang negatif.
Hendaknya pelajar ketika sedang
belajar hendaknya menghadap kearah kiblat, banyak mengamalkan, melakukan
tradisi-tradisi rasululah SAW, mengikuti
ajakan ahli kebaikan, menjauhkan diri dari doanya orang yang dianiaya (madzlum),
dan memperbanyak shalat dengan segala kekhusukan.
Tiga belas, Bersemangat dalam menggapai
kesuksesan dengan diwujudkan pada
akegiatan-kegiatan yang positif dan bermanfaat serta berpaling dari keresahan
yang mengganggu, meringankan biaya. Selain itu santri juga harus membentuk
hasil-hasil pendidikanya sebagai suatu nasehat dan peringatan yang berharga
pada dirinya, sehingga ilmu itu bisa membawa berkah dan bersinar serta mendapat
pahala yang luar biasa.
Bagi orang-orang yang tidak mampu
mewujudkan, implementasi, maka berarti ia tidak memiliki ilmu yang mumpuni,
kalaupun toh memilki ilmu, maka ilmunya kurang bermanfaat.
Hal-hal seperti itu telah banyak
diuji cobakan oleh sekelompok ulama’ salaf. Ilmu yang dimiliki oleh santri
hendaklah hal itu tidak membuat dirinya menjadi sombong, terlalu membanggakan
terhadap kekuatan akal yang ia miliki. Bahkan semestinya ia wajib bersyukur kepada
Allah SWT, selalu mangharapkan tambahan ilmu dari-Nya dengan cara mensyukuri
secara terus menerus, santri hendaknya menebarkan, menyebar luaskan salam ,
menampakkan sifat kasih akung dan menghormatinya, serta menjaga diri dari
hak-hak yang dimilki oleh teman, saudara, baik seagama atau seaktifitas. Karena
mereka adalah orang orang yang ahli ilmu, membawa dan mencari ilmu, berusaha
melupakan terhadap segala kejelekan mereka, serta memaafkan segala kekeliruan
dan menutupi kejelekan mereka dan mensyukuri terhadap terhadap orang-orang yang
berbuat bagus dan mengampuni orang yang berbuat kejelekan.
0 comments:
Post a Comment